Kamis, 19 Juni 2014

Harapan Tak Pantas

Beberapa pesan darinya kini menjadi salah satu hal yang amat menakutkan untuk dibaca. Aku tak pernah seenggan ini membuka ponsel dan membaca pemberitahuan itu.
"Dari siapa?"
"Tak penting"
"Kalau tak penting, kenapa kamu semuram itu? Jangan bilang kamu ingin menangis"
"Tidak. Aku tidak ingin"
"Oh ayolah. Kamu tak perlu sungkan bercerita kepada sahabatmu ini tentang apa yang terjadi padamu. Siapa dia?" Pertanyaan yang sebenarnya tak ingin dijawab. Tapi apa daya, dia sahabatku. Aku menghargai kebaikannya. Bercerita mungkin menghilangkan sedikit beban yang terpendam.
"Kalau cara kalian yang lalu seperti itu, bukankah semua orang akan tau apa yang tersurat diantara kalian?"
"Tidak. Mereka salah paham"
"Mereka tidak pernah salah. Kalianlah yang salah!"
"Lalu kau mendefinisikan bahwa aku salah?" tanyaku agak tegas.
"Ya, kamu salah. Dia salah"
"Mengapa?"tanyaku
"Kau pasti menyadarinya. Tidak mungkin kau tidak mengharapkannya jika setiap dia tak ada, kau mencarinya. Tidak mungkin kau menganggapnya biasa, jika tiap tingkahnya yang tak kau duga membuat hatimu bergemuruh" balasnya tepat mengenai posisiku.
Mungkin dia benar dan mungkin akupun menyadarinya. Semua perkataannya benar. Aku berharap. Berharap pada orang yang belum tentu mengharapkanku. Apa aku berharap pada orang yang salah? Aku hanya menyimpan harapanku rapih agar aku tak terlihat terlalu naif.

Suatu saat mengertilah..
Aku yang tak kau harapkan, menyimpan berbagai harapan akanmu..
Mengertilah, pahamilah..
Tapi tak usah kau tindak lanjuti :-)

Minggu, 08 Juni 2014

Perhatian Yang Salah

Siang itu mungkin memang menjadikan suasana mencekam. Panasnya udara siang hari terkadang membuat hati yang tentram-pun ikut merasakan panasnya. Siang itu hatiku entah mengapa amat tersiksa dengan suatu kabar yang sungguh.. amat tak bisa ku terima.

"Yasudahlah tak usah lagi kau jatuhkan air matamu untuk orang yang sama sekali tak memperhatikan uraian air matamu itu" ucapnya seolah tak peduli. Dia memang seorang wanita, tapi entahlah. Mungkin dia sudah enggan menghiraukan segala tangisanku.
"Jangan nangis lagi ah. Cengeng banget" Pelukan itu menentramkamku. Pelukan sahabat yang sebenarnya bukan dia yang ku harap memelukku. Tapi pelukan sahabatku itu cukup menenangkan.
"Darimana kamu tau bahwa mereka telah menjalin hubungan?" tanyanya
"Twitter" jawabku yang dengan susah payah mengelap mukaku yang luyu terkena air mata.
"Kalau nyatanya salah?"
"Tak mungkin salah!" balasku, mantap.

Seketika pria itu mendatangi meja kantin yang kami huni siang ini.
"Hey, kamu kenapa? Abis nangis, ya?" tanya pria itu. Ah, melihatnya membuat air mataku tak tertahan lagi. "Cukup sudah. Menjauhlah" lirihku
"Orang yang dia suka pacaran, kak. Padahal mereka sudah dekat sekali!" sahabatku mewakili.
"Sedekat aku dan dia?"
"Yups!"
"Siapa orang itu, dik? Kenapa kamu tak pernah cerita tentang pria itu? Kalau saja kamu cerita, mungkin kakak bisa membantumu" ucapnya, percaya diri.
"Kita boleh tanya ke kakak?" lagi-lagi mereka mewakili
"Apa?"
"Kakak sudah punya pacar ya? Sama siapa kak? Kapan?" pertanyaan itu menyerbu
"Saya? Sudah, baru kemarin sepulang sekolah. Ah, kalau kalian ingin tau, lihat saja di twitter. Tapi jangan diusik ya!" ucapnya menjelaskan.

Dengan mudahnya pria ini menjawab semua pertanyaan tanpa melihat keadaan anak kecil yang sudah dianggapnya adik ini. Air mata yang meredapun kembali terjatuh layaknya air terjun niagara. Deras. Lirih tanpa mengeluarkan suara.
Pelukan itu mendarat. Mencekam sekali. Ada 2 perasaan mencekam di sini. Kalian tau rasanya dipeluk dalam hawa yang panas? membuat siapapun yang dipeluk memerlukan asupan oksigen. Mencekam yang ke dua adalah ... Aku memang harus tetap memanggilnya dengan sebutan kakak dan status kakak. Tidak lebih. Walau harusnya aku tau dari awal bahwa kata "SAYANG" itu tak hanya diberikannya untukku. Harusnya aku sadar, dia memprioritaskanku hanya sebagai adik.

"Jangan cengeng. Lain kali kalau suka dengan seorang pria, lebih baik ceritakan pada kakak. Kenapa kamu tertutup seperti ini? Bukankah biasanya kamu selalu terbuka?" tanyanya sambil terus memeluk dan mengusap lembut kepalaku. Memberi ketenangan maksudnya. "Mana bisa aku menceritakan tentang kamu pada dirimu?" jawabku dalam hati.
Memang harusnya aku sadar. Hubungan kami tak lebih dari itu. Adik - Kakak.

Dari yang selalu menganggap perhatiamu lebih,
walau kamu hanya terus menganggapnya kecil :)