Rasanya seperti abnormal ketika sesuatu hal yang mengganggu pikiranmu terus membayangi dan menghampiri kamu tanpa permisi. Seharusnya, bukankah kenangan itu seperti pensil atau pulpen diatas secarik kertas putih? Bisa dihapus dengan mudah, bisa juga dihilangkan dengan bantuan yang lain. Tapi sungguh, perasaan itu terus menggerayangi Mita.
Sudah dua hari ini Ia mendengar kabar tidak mengenakan hatinya. Zafran alasannya. Kabar-kabar tentang perilaku Zafran setelah mengakhiri hubungan dengannya memnyeruak. Terlebih di hatinya. Rasanya seperti dicambuk dan dicabik-baik jika Ia melihat kejadian ini sendiri~
"Iya, Mit, sebenarnya dulu sewaktu kelas gue lagi main Truth or Dare, dia mengaku sendiri kalau dia memang sudah pernah melakukan itu dengan mantannya yang setelah lo. Gue juga heran kenapa dia jadi seperti itu sekarang" ucap Elsa
"Ga nyangka aja. Yasudahlah, mungkin dia merasa senang kalau seperti itu. Aku ga mungkin melakukan itu! Terlalu rendah!" balas Mita.
Mita terduduk lemas di bangku busway. Pucat, lemas, ingin sekali rasanya Ia menangis, tapi tak mungkin. Ia hanya bisa diam memikirkan perkataan Elsa tadi. Ia ingin melupakan, tapi rasanya selalu saja hal itu memasuki celah hati dan pikirannya. Mitapun pulang dengan keadaan pikirannya yang kacau balau.
Di keesokan harinya, Ia juga mendapat kabar lagi dari Devi.
"Kenapa harus mendengar informasi seperti ini lagi sih saat aku benar-benar ingin melupakan dia?! Kalau begini namanya, proses dezafikasinya tidak berjalan lancar!" teriak Mita dalam batinnya
"Dia pernah curhat sama gue, Mita. Dulu setelah lo putus dengan Zafran, sebenarnya Zafran itu mau mengincar Riri. Dia itu sudah sering mengajak Riri pulang bersama, tapi selalu gue larang kok. Gue pernah bilang kok ke dia supaya ga deketin Riri, masalahnya Riri itu teman dekat lo. Akhirnya dia mulai ga mendekati Riri" Ucap Devi
"RIRI LAGI?????!!!" suara itu terdengar dan berbayang di otaknya. Darahnya mengalir deras. Rasanya ingin marah, tapi dia tidak ingin menunjukkan kekecewaan itu. Dia hanya tersenyum dan menjawab bahwa dirinya tidak marah bahkan baik-baik saja karena ingin moveon.
"Kebohongan macam apa lagi ini? Rasanya sakit. Kenapa harus mengetahui semua kebohongan itu diakhir. Tapi setelah aku ingin pergi dari masa lalu, aku malah teringat dia lagi? Maunya apa sih? Kenapa segampang itu beralasan mengakhiri sebuah hubungan? Ga ada yang lebih jujur lagi? Aku bosan misalnya. Sampai kapan aku menahan rasa kecewa ini?" ucap Mita, lagi-lagi dalam hatinya.
Untuk saat ini, posisi Mita sulit. Serba salah. Ia tidak bisa semudah itu cerita ke orang lain. Biarlah Ia memecahkan masalah hatinya yang bergejolak dengan Tuhan yang selalu bersamanya. Dengan begitu, Ia merasa lebih nyaman